Selasa, 26 Agustus 2008

Tidak Mesti Mahal Kok...


Dari tetangga sebelah...
Selamat membaca

Indira Permanasari

Namanya Hasan. Umurnya baru 7 tahun. Ia paling suka pelajaran
Matematika. Cita-citanya ingin menjadi astronot dan suatu saat ingin
ke Planet Mars. Ada lagi Husen, kembaran Hasan, yang suatu saat ingin
menjadi tentara. Di sebelahnya, Vida, yang berusia 8 tahun,
bercita-cita menjadi guru.

Lain lagi Bilal, yang ingin menjadi arsitek dan sudah pintar membuat
maket. Nah, yang terkecil bernama Safik. Umurnya baru enam tahun dan
paling suka menggambar dinosaurus. Mereka berlima putra- putri Ny
Yayah Komariah.

Siang itu mereka tengah belajar Matematika di ruang tamu rumah mereka
yang hanya berukuran 3 meter x 3 meter di bilangan Pasar Minggu,
Jakarta Selatan. Rumah mereka terselip di antara kepadatan permukiman
yang dibelah gang-gang yang hanya dapat dilalui satu orang.

Jangan bayangkan bocah-bocah mungil itu beriringan berangkat ke
sekolah dengan berseragam merah-putih. Sehari- hari, kelima anak
tersebut bersekolah di rumah alias homeschooling atau disebut juga
sekolah-rumah. Mereka dididik langsung oleh ibu yang sekaligus guru
mereka. Itu pun masih ditambah tiga anak lain yang ikut bergabung
secara rutin.

Ny Yayah adalah ibu rumah tangga biasa, sedangkan suaminya bekerja di
percetakan. Keinginan mendapatkan pendidikan berkualitas di tengah
keterbatasan kondisi ekonomi membuat Ny Yayah memilih mendidik anaknya
sendiri. Terlebih lagi sebelumnya ia adalah seorang guru lulusan
perguruan tinggi dan pernah ikut mendirikan tiga buah sekolah.

"Masuk ke sekolah formal yang bermutu biayanya mahal, sedikitnya Rp 3
juta dengan biaya bulanan Rp 150.000. Saya sudah pernah mau
mendaftarkan anak saya ke SD negeri, tapi begitu melihat satu guru
untuk 40 anak, saya ngeri juga memasukkan anak ke sistem itu. Tahun
2004, ketika Vida masuk SD, kami mulai homeschooling. Itu pun
sebelumnya diskusi dengan anak," kata Yayah.

Yayah bersama beberapa orangtua lalu membuat Komunitas Homeschooling
Berkemas, yang kini beranggotakan 60 orang di seluruh Indonesia. Tiga
anggota secara rutin tiap dua hari dalam seminggu berkegiatan bersama
Yayah dan anaknya.

Ny Homsah yang tinggal di kawasan Cilandak juga memilih model
sekolah-rumah bagi Jafar (8), putranya. Sehari-hari dia mendidik Jafar
di rumah. Tetapi, tiap dua kali seminggu Jafar ia ikutkan pada
kegiatan Komunitas Homeschooling Berkemas.

Homsah juga tak mampu menyekolahkan putranya ke sekolah bermutu yang
identik dengan biaya mahal. Apalagi keluarganya hanya mengandalkan
pendapatan suaminya yang berjualan makanan kaki lima.

"Anak saya yang tertua sekolah di satu SD swasta yang baik. Uang
sekolahnya Rp 160.000 per bulan dan per tahun ada biaya Rp 1 juta.
Kalau dua anak saya yang lain masuk di sekolah yang sama, saya tak
kuat biayanya. Tahun ini saja biayanya sudah naik Rp 400.000 per bulan
untuk anak baru," kata Homsah.

Selain itu, dia berpandangan, Jafar membutuhkan perhatian khusus
karena kurang dapat mengikuti disiplin sekolah dan tidak cocok dengan
cara belajar di kelas. "Dia bisa saja tidak mau pakai seragam ke
sekolah dan tidak merasa bersalah. Saya tidak ingin anak saya
terbentur dengan pihak sekolah hanya karena permasalahan seperti
seragam," katanya. Jafar juga tidak mau ke sekolah negeri karena kamar
mandinya jorok.

Keputusan mendidik Jafar di rumah melalui pergulatan yang berat,
terutama bagi Homsah. Dia merasa kemampuan dan ilmu kurang mengingat
pendidikan terakhirnya hanya sebatas sekolah menengah atas.

"Keluarga besar juga berkali- kali mempertanyakan buat apa mendidik
anak melalui homeschooling. Tapi saya melihat Jafar antusias dengan
ide homeschooling. Apalagi sudah ada homeschooling majemuk, seperti
yang diadakan Komunitas Homeschooling Berkemas, informasi tentang
homeschooling sudah bertebaran dan banyak yang melaksanakan,

" ujarnya.

Perkembangan Jafar setelah ikut sekolah-rumah juga menggembirakan.
Terlihat karakternya terbangun dan dia punya banyak pengalaman karena
terkadang saat di komunitas Jafar belajar langsung dari sumber atau
tinjauan lapangan.

Tidak bikin stres

"Homeschooling tidak mesti mahal," kata Ny Yayah. Besaran biaya
bergantung pada bagaimana proses pembelajaran. Terlebih lagi untuk
pendidikan dasar.

"Untuk sumber belajar dapat digunakan buku bekas atau materi lain.
Apalagi sekarang sudah banyak informasi di internet, radio, atau
televisi. Belajar juga dapat di mana saja. Siapa saja dapat jadi guru
bagi anak-anak homeschooling. Terkadang saya membawa anak-anak ke
orang- orang dengan keahlian tertentu agar mereka bisa belajar
langsung dari sumbernya. Intinya, segala yang ada di lingkungan dapat
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran," katanya.

Ny Yayah Komariah sendiri dalam mendidik anak serta anggota Komunitas
Homeschooling Berkemas berupaya agar anak senang. "Akhirnya, saya
membuat model pembelajaran yang menekankan agar anak aktif dan sambil
bermain. Saya memakai istilah kegiatan, bukan belajar. Kalau disebut
belajar, mereka langsung capek," katanya.

Sebagian materi ada yang dari Departemen Pendidikan Nasional dan
biasanya materi itu sudah terselesaikan dalam tiga bulan, lebih cepat
daripada di sekolah reguler. Vida termasuk menikmati model sekolah-
rumah. "Aku mau homeschooling sampai kuliah. Soalnya enak dan tidak
bikin stres," katanya.

Yayah saat ini berkeinginan memasyarakatkan model sekolah-rumah ini
lebih luas agar masyarakat punya banyak pilihan model pendidikan. "Itu
tidak mudah karena pandangan masyarakat bahwa orangtua yang ingin
anaknya ikut homeschooling harus menguasai seluruh materi. Padahal,
yang lebih ditekankan dari homeschooling ialah pembangunan karakter,
minat dan bakat," katanya.

Suatu hari nanti anak akan mengetahui minat dan bakatnya dan berusaha
menguasai bidang yang diinginkan. Tak kalah penting, mereka menjadi
pembelajar yang alami dan mandiri.

Tidak ada komentar:

Menimbang Sekolah Rumahan

” Apakah akan datang suatu ketika guru manusia adalah alam, kemanusiaan adalah bukunya, dan kehidupan adalah sekolahnya? “

Pertanyaan Kahlil Gibran ini bukanlah hal yang utopis atau tidak pernah kita temui dalam kehidupan nyata. Penyair besar kelahiran Lebanon itu tidak sekadar meramal atau bertanya sekenanya saja.

Di balik pertanyaan itu terkandung makna yang sangat mendalam dan menjadi renungan bagi setiap generasi, bahwa proses pendidikan yang dicapai sesungguhnya bukanlah diukur dari seberapa tinggi jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh seseorang atau seberapa banyak ilmu pengetahuan yang dikuasai.

Namun, sejatinya pendidikan yang sebenarnya adalah bagaimana menjalani dan memaknai kehidupan ini sebagai manusia pembelajar sepanjang hayat karena pada hakikatnya kita tidak pernah purna untuk menamatkan “sekolah” kehidupan ini.

Munculnya fenomena sekolah rumahan (home schooling) empat tahun terakhir seakan menemukan konteksnya apabila dihubungkan dengan pertanyaan Kahlil Gibran di atas. Karena dengan mengajak anak-anak belajar di luar bingkai sekolah formal, mereka akan tergiring untuk menyadari bahwa proses belajar itu tidak pernah ada batasnya; bahwa sekolah formal itu hanya salah satu di antara banyak cara dalam memperoleh life skill sebagai bekal untuk menapaki masa depan mereka.

Secara historis, ada sederet nama pahlawan nasional dan tokoh pendidikan bangsa ini yang merupakan produk dari sekolah rumahan, seperti Haji Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, serta Buya Hamka. Sepanjang hidup mereka didedikasikan untuk kemajuan bangsa ini karena mereka tidak mengenal kata “lulus” dalam “sekolah kehidupan” ini.

Ada beberapa lembaga seperti Morning Star Academy dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Bina Mekanika, tokoh pendidikan anak, Kak Seto Mulyadi; serta pendongeng Kak Wees yang telah menerapkan sistem belajar sekolah rumahan ini.

Kecenderungan untuk menerapkan sistem belajar home schooling ini diakibatkan oleh adanya rasa ketidakpercayaan kepada sekolah formal karena kurikulumnya terus berubah dan memberatkan anak, menganggap anak sebagai obyek bukan subyek, memasung kreativitas dan kecerdasan anak, baik dari segi emosi, moral, maupun spiritual (Tempo, 26/2/2006). Sebenarnya, secara operasional, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakui sistem sekolah rumahan, tetapi pemerintah masih belum melakukan standardisasi terhadap sistem belajar ini.

Tanpa menafikan peran sekolah formal dalam usaha memperbaiki kualitas pendidikan bangsa Indonesia, melalui tulisan ini, penulis ingin berbagi cerita mengenai sisi-sisi positif dari sekolah rumahan sebagai upaya alternatif bagi proses perbaikan kualitas pendidikan bangsa ini.

Selama lebih kurang dua tahun, saya mencoba menerapkan sistem belajar home schooling kepada keponakan-keponakan saya di rumah, mereka diajak untuk belajar bersama di luar jam sekolah. Boleh dikatakan bahwa apa yang saya kembangkan tidak sepenuhnya menggunakan sistem belajar sekolah rumahan karena mereka tidak sepenuhnya lepas dari sistem pendidikan formal.

Berdasarkan pengalaman selama menemani mereka belajar bersama di rumah, ada beberapa hal yang bisa dipetik.

Pertama, belajar di rumah lebih menyenangkan; jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada peserta didik di sekolah formal saat ini sangatlah memberatkan, ketika mereka merasa terbebani untuk mempelajari suatu bidang studi, bukan rasa ingin tahu yang muncul dalam benak mereka, melainkan setumpuk beban pengetahuan yang harus ia jejalkan ke dalam otaknya.

Dengan beban seperti itu, mereka akan enggan dan ogah- ogahan untuk membaca dan mengembangkan pengetahuannya sendiri, apalagi misalnya di sekolah mereka lebih banyak menerima pengetahuan dengan proses satu arah (spoon feeding).

Naifnya, ketika peserta didik tidak mampu menyerap pelajaran di ruang kelas, mereka diajak untuk belajar lagi di luar kelas, misalnya dengan mengikuti les, pelajaran tambahan, ataupun bimbingan belajar, padahal bidang studi yang mereka pelajari sama dengan yang mereka pelajari di ruang kelas.

Sistem belajar seperti ini tidak hanya menambah beban bagi mereka, tetapi juga akan membuat mereka merasa jemu dan bosan karena ada proses pengulangan (repetisi) bahan pelajaran.

Namun, dengan sistem belajar home schooling, mereka akan belajar lebih menyenangkan karena menerima pelajaran dengan rasa ingin tahu dan tidak ada beban untuk mempelajarinya. Hal ini penting untuk proses berpikir mereka ke depan karena akan terus mengembangkan pengetahuannya tanpa harus dibatasi oleh ruang (jenjang pendidikan) dan waktu (belajar sepanjang hayat).

Dengan demikian, mereka akan mempunyai kebebasan berpikir dan berkreasi sesuai dengan bakat dan minat yang mereka kenali dan tekuni.

Kedua, belajar di rumah akan mendukung terhadap terciptanya lingkungan yang lebih komunikatif antar anggota keluarga. Di tengah kecenderungan merenggangnya rasa kekerabatan dan kekeluargaan, terutama di daerah urban, menyediakan ruang belajar terbuka di rumah akan kembali menumbuhkan dan mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.

Selain itu, mereka juga akan belajar lebih kooperatif, tak hanya mementingkan keberadaan dan prestasinya sendiri, tetapi juga dengan sendirinya akan membantu kesulitan yang dihadapi oleh saudara-saudaranya.

Hal ini berbeda dengan target pencapaian yang selama ini dikembangkan di sekolah formal yang hanya mementingkan nilai, sehingga tak jarang para siswa akan berusaha mempertaruhkan apa pun untuk memperoleh nilai yang tinggi dengan cara curang, menyontek misalnya.

Cara belajar seperti ini justru akan menghambat cara berpikir positif dan cara menghadapi masa depan kehidupannya; mereka akan cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan hidup.

Ketiga, belajar di rumah akan mendukung terhadap proses kematangan jiwa anak. Hampir seluruh perkembangan kejiwaan anak bisa ter-cover karena lebih gampang memantau dan mengomunikasikan dengan pihak orangtua. Jadi, hambatan belajar mereka, baik secara fisik maupun psikis, relatif lebih cepat diketahui dan dipecahkan. Proses kematangan jiwa ini sangatlah membantu terhadap rasa kepercayaan diri untuk selalu belajar dan berjuang demi kemajuan diri dan bangsanya.
Keempat, mengajak anak-anak untuk tidak hanya berkutat dengan buku-buku, misalnya mereka diajak belajar di alam terbuka seperti di daerah persawahan, sungai, ataupun hutan, dalam artian apa yang mereka baca dan pelajari coba disinggungkan dan didiskusikan dengan keadaan sekitar.

Melalui cara belajar seperti itu, lambat laun mereka akan mempunyai kesadaran bahwa pengetahuan yang diperoleh akan betul-betul diketahui manfaat dan fungsinya dalam kehidupan mereka; tidak sebatas pengetahuan kognitif yang menumpuk di dalam otak mereka. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan mempunyai kepekaan terhadap persoalan-persoalan di sekeliling mereka.

Oleh: Mohammad Hasan Basri Guru SMA I Annuqayah Guluk-guluk Sumenep; Tengah Merintis Taman Belajar “Insan Fitri” di Madura

Sumber : Kompas