Dari tetangga sebelah...
Selamat membaca
Indira Permanasari
Namanya Hasan. Umurnya baru 7 tahun. Ia paling suka pelajaran
Matematika. Cita-citanya ingin menjadi astronot dan suatu saat ingin
ke Planet Mars. Ada lagi Husen, kembaran Hasan, yang suatu saat ingin
menjadi tentara. Di sebelahnya, Vida, yang berusia 8 tahun,
bercita-cita menjadi guru.
Lain lagi Bilal, yang ingin menjadi arsitek dan sudah pintar membuat
maket. Nah, yang terkecil bernama Safik. Umurnya baru enam tahun dan
paling suka menggambar dinosaurus. Mereka berlima putra- putri Ny
Yayah Komariah.
Siang itu mereka tengah belajar Matematika di ruang tamu rumah mereka
yang hanya berukuran 3 meter x 3 meter di bilangan Pasar Minggu,
Jakarta Selatan. Rumah mereka terselip di antara kepadatan permukiman
yang dibelah gang-gang yang hanya dapat dilalui satu orang.
Jangan bayangkan bocah-bocah mungil itu beriringan berangkat ke
sekolah dengan berseragam merah-putih. Sehari- hari, kelima anak
tersebut bersekolah di rumah alias homeschooling atau disebut juga
sekolah-rumah. Mereka dididik langsung oleh ibu yang sekaligus guru
mereka. Itu pun masih ditambah tiga anak lain yang ikut bergabung
secara rutin.
Ny Yayah adalah ibu rumah tangga biasa, sedangkan suaminya bekerja di
percetakan. Keinginan mendapatkan pendidikan berkualitas di tengah
keterbatasan kondisi ekonomi membuat Ny Yayah memilih mendidik anaknya
sendiri. Terlebih lagi sebelumnya ia adalah seorang guru lulusan
perguruan tinggi dan pernah ikut mendirikan tiga buah sekolah.
"Masuk ke sekolah formal yang bermutu biayanya mahal, sedikitnya Rp 3
juta dengan biaya bulanan Rp 150.000. Saya sudah pernah mau
mendaftarkan anak saya ke SD negeri, tapi begitu melihat satu guru
untuk 40 anak, saya ngeri juga memasukkan anak ke sistem itu. Tahun
2004, ketika Vida masuk SD, kami mulai homeschooling. Itu pun
sebelumnya diskusi dengan anak," kata Yayah.
Yayah bersama beberapa orangtua lalu membuat Komunitas Homeschooling
Berkemas, yang kini beranggotakan 60 orang di seluruh Indonesia. Tiga
anggota secara rutin tiap dua hari dalam seminggu berkegiatan bersama
Yayah dan anaknya.
Ny Homsah yang tinggal di kawasan Cilandak juga memilih model
sekolah-rumah bagi Jafar (8), putranya. Sehari-hari dia mendidik Jafar
di rumah. Tetapi, tiap dua kali seminggu Jafar ia ikutkan pada
kegiatan Komunitas Homeschooling Berkemas.
Homsah juga tak mampu menyekolahkan putranya ke sekolah bermutu yang
identik dengan biaya mahal. Apalagi keluarganya hanya mengandalkan
pendapatan suaminya yang berjualan makanan kaki lima.
"Anak saya yang tertua sekolah di satu SD swasta yang baik. Uang
sekolahnya Rp 160.000 per bulan dan per tahun ada biaya Rp 1 juta.
Kalau dua anak saya yang lain masuk di sekolah yang sama, saya tak
kuat biayanya. Tahun ini saja biayanya sudah naik Rp 400.000 per bulan
untuk anak baru," kata Homsah.
Selain itu, dia berpandangan, Jafar membutuhkan perhatian khusus
karena kurang dapat mengikuti disiplin sekolah dan tidak cocok dengan
cara belajar di kelas. "Dia bisa saja tidak mau pakai seragam ke
sekolah dan tidak merasa bersalah. Saya tidak ingin anak saya
terbentur dengan pihak sekolah hanya karena permasalahan seperti
seragam," katanya. Jafar juga tidak mau ke sekolah negeri karena kamar
mandinya jorok.
Keputusan mendidik Jafar di rumah melalui pergulatan yang berat,
terutama bagi Homsah. Dia merasa kemampuan dan ilmu kurang mengingat
pendidikan terakhirnya hanya sebatas sekolah menengah atas.
"Keluarga besar juga berkali- kali mempertanyakan buat apa mendidik
anak melalui homeschooling. Tapi saya melihat Jafar antusias dengan
ide homeschooling. Apalagi sudah ada homeschooling majemuk, seperti
yang diadakan Komunitas Homeschooling Berkemas, informasi tentang
homeschooling sudah bertebaran dan banyak yang melaksanakan,
" ujarnya.
Perkembangan Jafar setelah ikut sekolah-rumah juga menggembirakan.
Terlihat karakternya terbangun dan dia punya banyak pengalaman karena
terkadang saat di komunitas Jafar belajar langsung dari sumber atau
tinjauan lapangan.
Tidak bikin stres
"Homeschooling tidak mesti mahal," kata Ny Yayah. Besaran biaya
bergantung pada bagaimana proses pembelajaran. Terlebih lagi untuk
pendidikan dasar.
"Untuk sumber belajar dapat digunakan buku bekas atau materi lain.
Apalagi sekarang sudah banyak informasi di internet, radio, atau
televisi. Belajar juga dapat di mana saja. Siapa saja dapat jadi guru
bagi anak-anak homeschooling. Terkadang saya membawa anak-anak ke
orang- orang dengan keahlian tertentu agar mereka bisa belajar
langsung dari sumbernya. Intinya, segala yang ada di lingkungan dapat
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran," katanya.
Ny Yayah Komariah sendiri dalam mendidik anak serta anggota Komunitas
Homeschooling Berkemas berupaya agar anak senang. "Akhirnya, saya
membuat model pembelajaran yang menekankan agar anak aktif dan sambil
bermain. Saya memakai istilah kegiatan, bukan belajar. Kalau disebut
belajar, mereka langsung capek," katanya.
Sebagian materi ada yang dari Departemen Pendidikan Nasional dan
biasanya materi itu sudah terselesaikan dalam tiga bulan, lebih cepat
daripada di sekolah reguler. Vida termasuk menikmati model sekolah-
rumah. "Aku mau homeschooling sampai kuliah. Soalnya enak dan tidak
bikin stres," katanya.
Yayah saat ini berkeinginan memasyarakatkan model sekolah-rumah ini
lebih luas agar masyarakat punya banyak pilihan model pendidikan. "Itu
tidak mudah karena pandangan masyarakat bahwa orangtua yang ingin
anaknya ikut homeschooling harus menguasai seluruh materi. Padahal,
yang lebih ditekankan dari homeschooling ialah pembangunan karakter,
minat dan bakat," katanya.
Suatu hari nanti anak akan mengetahui minat dan bakatnya dan berusaha
menguasai bidang yang diinginkan. Tak kalah penting, mereka menjadi
pembelajar yang alami dan mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar