Posted on Nov 29, 2007 under HomeSchooling, Rumahku Sekolahku |
Beginilah suasana ketika Deviana sedang mengajar Nindya Putri Catur Permata Sari, putri bungsunya. Istri Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi ini mendidik sendiri anak-anaknya di rumah, tidak menyekolahkan mereka di sekolah umum. Materi yang ia ajarkan kali ini adalah teori evolusi yang ditemukan oleh Charles Darwin. Suasana belajar-mengajar di rumah dibuat sangat santai, diiringi candaan dan kadang-kadang sambil menjalankan aktivitas sehari-hari. Walaupun pelajaran dibuat santai, Dea, panggilan akrab Nindya, menyimak pelajaran yang diberikan ibunya dengan antusias.
Seto Mulyadi atau Kak Seto sudah lama mempraktekkan home-schooling atau sekolah rumah bagi anak-anak. Konsep sekolah rumah memang unik. Menurut Kak Seto, keluarganya menerapkan sekolah rumah bagi anak-anaknya sejak tiga tahun lalu. Awalnya, Minuk, anak pertama, mengalami tekanan di sekolah karena dihukum gurunya ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama favorit di Jakarta.
“Lalu dia menyampaikan pada ibunya. Mula-mula dipaksa ibunya. Tetapi tetap tidak mau, dan mengatakan lebih baik saya ke sekolah tapi tidak belajar, atau saya di rumah tapi saya belajar? Akhirnya, ya sudah, dengan mengingat hak anak, mengedepankan yang terbaik bagi anak, akhirnya saya beri kesempatan Minuk tetap berada di rumah. Tetapi dia menjalankan aktivitas belajarnya,” Kak Seto menjelaskan ihwal mula mempraktekkan sekolah rumah.
Menurut Kak Seto, berkat konsep sekolah rumah dengan kurikulum yang disusun bersama, motivasi belajar muncul dari dalam diri putrinya. Belajar sambil bermain, membuat anak merasa nyaman, meskipun belajar sepanjang hari.
“Anak-anak jadi senang belajar dengan motivasi internal, motivasi dari anak itu sendiri. Sehingga kegiatan home schooling ini, jika ditanya kapan belajarnya, dari bagun tidur sampai tidur lagi. Di mana belajarnya? Di mana saja! Bisa di kamar tidur, ruang tengah, kamar tamu, di halaman, atau juga di luar. Entah pergi ke sawah, ke panti asuhan, penitipan bayi-bayi telantar, sampai mungkin juga belajar di mal. Tapi yang penting, anak-anak dilibatkan untuk menyusun kurikulumnya, mencari sumber belajar,” Kak Seto menambahkan.
Bagi Dhea, belajar di rumah sangat menyenangkan. Ia mengaku ingin terus belajar di rumah sampai menyelesaikan pendidikan setara sekolah menengah umum.
“Kayaknya, seterusnya sampai SMP, SMA, sampai kapan aja gitu. Aku pingin home schooling. Soalnya waktu itu ngeliat Kak Minuk, terus jadi gimana gitu. Sekolah formal, aku takut! Kayaknya, Kak Minuk sampai stres waktu itu. Waktu kelas SMA, kayaknya, sempet stres. Terus aku nggak mau, mau terus home scholing aja,” tutur Dhea.
Bagi kebanyakan orang, menempuh pendidikan formal masih merupakan pilihan utama. Bahkan, lembaga pendidikan formal yang tergolong favorit masih jadi incaran kebanyakan siswa dan orang tua.
Vanny, misalnya. Siswa SMU 70 Jakarta Selatan ini tetap memilih belajar di sekolah formal. Bagi dia, masuk salah satu SMU favorit di Jakarta merupakan cita-citanya sejak dulu. Dengan masuk SMU favorit, Vanny berharap peluang untuk belajar di perguruan tinggi ternama akan lebih terbuka.
“Di rumah tuh gak punya temen, ya jadi gak bergaul aja. Trus biasanya kualitasnya kan beda kalau sekolah di rumah. Kalau di sekolah kan ada kurikulumnya, gitu. Kalo di rumah kan gak jelas, gitu. Gak mau karena kebanyakan sekolahnya di sekolah, bukan di rumah,” kata Vanny.
Begitu juga Danista, rekan Vanny. Dia justru menikmati belajar di sekolah formal dan mengaku bosan tinggal di rumah. Dia sama sekali tidak ingin belajar di rumah. “Ngapain di rumah juga. Di rumah bosenlah,” jelasnya.
Randi, pelajar SMU yang lain, juga demikian. Baginya, belajar di rumah bukan hal yang menyenangkan. Kata Randi, ada hal yang tidak didapat di rumahnya, yaitu pertemanan. Baginya, sosialisasi dengan teman-teman di sekolah merupakan kebutuhan yang penting.
“Belajar di rumah ya gak enak aja. Kalo di sekolah formal gini, selain belajar, kayak ada pergaulannya, gitu….” kata Randi.
Pemerintah sendiri mengakui keberadaan sekolah rumah sebagai salah satu jalur pendidikan yang sah. Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, Ella Yuleawati, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membuka banyak jalur pendidikan yang bisa ditempuh, termasuk sekolah rumah.
TetapiElla juga mengingatkan, untuk menjalankan konsep sekolah rumah, orang tua harus memiliki komitmen yang kuat. Banyak orang tua yang tidak memiliki komitmen yang kuat dalam mempraktekkan sekolah rumah, sehingga tidak membimbing anaknya secara maksimal. Kesibukan orang tua juga merupakan salah satu hambatan dalam mendidik anak.
“Saya katakan, itu pendidikan informal sekolah rumah, kalau masyarakat memilih itu, apakah betul? Itu tidak mudah loh. Sekarang ini mungkin orang sangat terkesima begini begitu. Berpikirnya mudah, kayak jadi trend seter, gitu. Kalau sekolah rumah, tinggal hati-hati. Saya sendiri belum tentu, memang saya belum tentu. Tapi, saya memang tidak bisa. Kan anak saya dua-duanya di ITB dengan bantuan sekolah formal,” kata Ella.
Mendidik sendiri anak di rumah bukan perkara gampang. Menurut pakar pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Arief Rahman Hakim, orang tua yang ingin menjalankan konsep pendidikan rumah harus memenuhi tiga syarat. Pertama, syarat akademis, yaitu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Kedua, syarat psikologis, yaitu memiliki jiwa pendidik. Dan terakhir, harus memiliki syarat pedadogis, yaitu keahlian menularkan pengetahuan kepada orang lain. Selain itu, menurut Kepala Lab School di Rawamangun ini, praktisi sekolah rumah juga harus memiliki program pelajaran dan sistem evaluasi yang jelas.
“Saya tidak mengatakan setiap orang itu bisa atau tidak, tapi kalau mau melaksanakan home schooling, ketiga syarat itu harus dipenuhi,” katanya.
Kriteria seperti yang disampaikan Arief Rahman Hakim memang dimiliki Deviana, istri Kak Seto. Menurut Deviana, dia memiliki program yang jelas dan mendidik anaknya berdasarkan kurikulum nasional. Dia juga mengaku menerapkan sistem evaluasi untuk mengukur capaian yang ditempuh kedua putrinya.
“Saya pakai cara saya sendiri. Sudah mengerti apa belum, misalnya, sambil bermain juga kadang mereka buat soal. Oh, mereka sudah mengerti soal ini. Kalau sudah bisa buat soal, berarti sudah mengerti. Jadi, mereka kadang membuat soal. Menyerapnya lebih dari yang diajarkan. Tidak formal pakai angka. Yang penting standarnya sampai, standar kurikulum nasional,” kata istri Seto Mulyadi ini.
Bagi Kak Seto, mempraktekkan sekolah rumah memang tidak gampang. Dia mengingatkan kepada semua orang tua yang akan menjalankan praktek sekolah rumah agar memahami benar makna pendidikan. Walaupun kini banyak kalangan kelas terdidik di Jakarta yang menerapkan sekolah rumah, dia mengingatkan jangan sampai sekolah rumah sekadar menjadi gagah-gagahan.
“Pertama harus memahami makna dari pendidikan. Bukan sekadar menjejalkan beragam informasi atau pelajaran kepada kepala yang seolah-olah kosong. Tapi makna pendidikan adalah justru mengeluarkan atau memberdayakan potensi-potensi unggul yangg dimiliki oleh setiap anak yangg saling berbeda. Kedua, punya komitmen, bahwa ortu yang jadi koordinator dan fasilitator dari kegiatan sekolah rumah. Penaggung jawab adalah tetap ortu. Berarti mempelajari isi kurikulum. Kemudian juga mencoba untuk menjabarkan secara kreatif sesuai dengan kondisi anak-anak yang saling berbeda. Kemudian harus mampu bekerja sama baik dengan anak maupun dengan pihak-pihak lain, termasuk jaringan sekolah rumah,” Kak Seto memberi kiat bagi orang tua yang ingin membuat sekolah rumah.
Sekolah rumah atau home-schooling tampaknya sudah menjadi alternatif di tengah-tengah buruknya sistem pendidikan formal. Beberapa selebritas, seperti Neno Warisman, juga mempraktekkan sekolah rumah untuk anak-anaknya. Dewi Hughes yang belum mempunyai anak tapi peduli pada dunia pendidikan pun tertarik. Mereka bahkan membentuk Asa Pena, asosiasi sekolah rumah, sebagai wadah bertukar informasi sesama praktisi sekolah rumah. (Liza Desylanhi/E2)
Sumber : http://www.vhrmedia.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar