Selasa, 26 Agustus 2008

Lebih Jauh tentang Homeschooling


Orang tua harus berkaca diri dulu sebelum menyelenggarakan sekolah rumah bagi sang buah hati.

Homeschooling (sekolah rumah) saat ini mulai menjadi salah satu pilihan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Pilihan ini terutama disebabkan oleh adanya pandangan atau penilaian orang tua tentang kesesuaian bagi anak-anaknya. Bisa juga karena orang tua merasa lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah. Ini banyak dilakukan di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri.

Sekolah rumah, menurut Ella Yulaelawati, direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif.

Tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama dikemukakan oleh Dr Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, saat keduanya tampil berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, Sabtu (22/7) lalu.

Pembelajaran kreatif

Ella mengakui, ada beberapa alasan orang tua di Indonesia memilih sekolah rumah. Antara lain, dapat menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang baik, dan dapat memberikan pembelajaran langsung yang konstekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Menurut Seto, sekolah rumah memiliki keunggulan karena bimbingan dan layanan pengajaran dilakukan secara individual. Proses pembelajaran lebih bermakna karena terintegrasi dengan aktivitas sehari-hari. Lebih dari itu, waktunya pun lebih fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kesiapan anak dan orang tua.

Seto mengatakan, menyelenggarakan sekolah rumah menuntut kemauan orang tua untuk belajar, menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, dan memelihara minat dan antusias belajar anak. Sekolah rumah juga memerlukan kesabaran orangtua, kerja sama antaranggota keluarga, dan konsisten dalam penanaman kebiasaan.

Seto menampik sejumlah mitos yang dinilainya keliru tentang homeschooling selama ini. Misalnya, anak kurang bersosialisasi, orang tua tidak bisa menjadi guru, orang tua harus tahu segalanya, orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari, waktu belajar tidak sebanyak waktu belajar sekolah formal, anak tidak terbiasa disiplin dan seenaknya sendiri, tidak bisa mendapatkan ijazah dan pindah jalur ke sekolah formal, tidak mampu berkompetisi, dan homeschooling mahal. `’Itu keliru,” ucapnya.

Teman belajar

Lalu, apa yang yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menyelenggarakan sekolah rumah? Seto mengatakan, orang tua harus menjadikan anak sebagai teman belajar dan menempatkan diri sebagai fasilitator. `’Orang tua harus memahami bahwa anak bukan orang dewasa mini,” tuturnya.

Anak, kata Seto, perlu bermain. Itu yang perlu dipahami oleh orang tua. Karena itu pula, orang tua tidak boleh arogan dengan menempatkan diri sebagai guru, tapi belajar bersama. Kalau tidak siap dengan itu, menurut Seto, lebih baik jangan menyelenggarakan sekolah rumah.

Orang tua, kata Seto lagi, tetap perlu terus menambah pengetahuan. Tidak mesti menguasai semua jenis ilmu. Yang penting, memiliki pemahaman tentang anak. Bila orang tua kurang mengerti pelajaran biologi atau matematika, misalnya, orang tua bisa mendatangkan guru untuk pelajaran tersebut dan belajar bersama anak. Dengan demikian, anak akan merasa tidak lebih rendah, tapi sebagai sahabat dalam belajar.

Bagaimana dengan kedua orang tua yang bekerja sehingga merasa tidak punya waktu untuk memberikan pembelajaran kepada anak dalam menyelenggarakan homeschooling? Seto mengatakan, itu tidak boleh menjadi alasan.

Sesibuk apa pun orang tua, tetap harus punya waktu untuk anak. `’Kalau tidak punya waktu, jangan punya anak,” ucap psikolog yang juga menyelenggarakan homeschooling bagi anak sulungnya itu.

Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuan dan kemampuan anak, di samping dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara nasional. Standar kompetensi menjadi panduan yang harus dimiliki seorang anak pada kelas tertentu. Anak kelas VI SD atau setara, misalnya, minimal sudah harus menguasai pelajaran matematika sampai batas tertentu pula. Standar kompetensi ini, kata Seto, dapat diperoleh di Dinas Pendidikan yang ada di daerah masing-masing.

Evaluasi bagi anak yang mengikuti homeschooling dapat dilakukan dengan mengikutkan pada ujian Paket A yang setara dengan SD atau Paket B setara SMP. Pada dasarnya, kata Seto, dapat pula dilakukan dengan menginduk ke sekolah formal yang ada untuk proses evaluasi. Menurut dia, harusnya ini bisa dilakukan karena sekolah rumah bukan sekolah liar. Homeschooling seusai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). (-bur)

Sumber : Republika

Tidak ada komentar:

Menimbang Sekolah Rumahan

” Apakah akan datang suatu ketika guru manusia adalah alam, kemanusiaan adalah bukunya, dan kehidupan adalah sekolahnya? “

Pertanyaan Kahlil Gibran ini bukanlah hal yang utopis atau tidak pernah kita temui dalam kehidupan nyata. Penyair besar kelahiran Lebanon itu tidak sekadar meramal atau bertanya sekenanya saja.

Di balik pertanyaan itu terkandung makna yang sangat mendalam dan menjadi renungan bagi setiap generasi, bahwa proses pendidikan yang dicapai sesungguhnya bukanlah diukur dari seberapa tinggi jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh seseorang atau seberapa banyak ilmu pengetahuan yang dikuasai.

Namun, sejatinya pendidikan yang sebenarnya adalah bagaimana menjalani dan memaknai kehidupan ini sebagai manusia pembelajar sepanjang hayat karena pada hakikatnya kita tidak pernah purna untuk menamatkan “sekolah” kehidupan ini.

Munculnya fenomena sekolah rumahan (home schooling) empat tahun terakhir seakan menemukan konteksnya apabila dihubungkan dengan pertanyaan Kahlil Gibran di atas. Karena dengan mengajak anak-anak belajar di luar bingkai sekolah formal, mereka akan tergiring untuk menyadari bahwa proses belajar itu tidak pernah ada batasnya; bahwa sekolah formal itu hanya salah satu di antara banyak cara dalam memperoleh life skill sebagai bekal untuk menapaki masa depan mereka.

Secara historis, ada sederet nama pahlawan nasional dan tokoh pendidikan bangsa ini yang merupakan produk dari sekolah rumahan, seperti Haji Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, serta Buya Hamka. Sepanjang hidup mereka didedikasikan untuk kemajuan bangsa ini karena mereka tidak mengenal kata “lulus” dalam “sekolah kehidupan” ini.

Ada beberapa lembaga seperti Morning Star Academy dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Bina Mekanika, tokoh pendidikan anak, Kak Seto Mulyadi; serta pendongeng Kak Wees yang telah menerapkan sistem belajar sekolah rumahan ini.

Kecenderungan untuk menerapkan sistem belajar home schooling ini diakibatkan oleh adanya rasa ketidakpercayaan kepada sekolah formal karena kurikulumnya terus berubah dan memberatkan anak, menganggap anak sebagai obyek bukan subyek, memasung kreativitas dan kecerdasan anak, baik dari segi emosi, moral, maupun spiritual (Tempo, 26/2/2006). Sebenarnya, secara operasional, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakui sistem sekolah rumahan, tetapi pemerintah masih belum melakukan standardisasi terhadap sistem belajar ini.

Tanpa menafikan peran sekolah formal dalam usaha memperbaiki kualitas pendidikan bangsa Indonesia, melalui tulisan ini, penulis ingin berbagi cerita mengenai sisi-sisi positif dari sekolah rumahan sebagai upaya alternatif bagi proses perbaikan kualitas pendidikan bangsa ini.

Selama lebih kurang dua tahun, saya mencoba menerapkan sistem belajar home schooling kepada keponakan-keponakan saya di rumah, mereka diajak untuk belajar bersama di luar jam sekolah. Boleh dikatakan bahwa apa yang saya kembangkan tidak sepenuhnya menggunakan sistem belajar sekolah rumahan karena mereka tidak sepenuhnya lepas dari sistem pendidikan formal.

Berdasarkan pengalaman selama menemani mereka belajar bersama di rumah, ada beberapa hal yang bisa dipetik.

Pertama, belajar di rumah lebih menyenangkan; jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada peserta didik di sekolah formal saat ini sangatlah memberatkan, ketika mereka merasa terbebani untuk mempelajari suatu bidang studi, bukan rasa ingin tahu yang muncul dalam benak mereka, melainkan setumpuk beban pengetahuan yang harus ia jejalkan ke dalam otaknya.

Dengan beban seperti itu, mereka akan enggan dan ogah- ogahan untuk membaca dan mengembangkan pengetahuannya sendiri, apalagi misalnya di sekolah mereka lebih banyak menerima pengetahuan dengan proses satu arah (spoon feeding).

Naifnya, ketika peserta didik tidak mampu menyerap pelajaran di ruang kelas, mereka diajak untuk belajar lagi di luar kelas, misalnya dengan mengikuti les, pelajaran tambahan, ataupun bimbingan belajar, padahal bidang studi yang mereka pelajari sama dengan yang mereka pelajari di ruang kelas.

Sistem belajar seperti ini tidak hanya menambah beban bagi mereka, tetapi juga akan membuat mereka merasa jemu dan bosan karena ada proses pengulangan (repetisi) bahan pelajaran.

Namun, dengan sistem belajar home schooling, mereka akan belajar lebih menyenangkan karena menerima pelajaran dengan rasa ingin tahu dan tidak ada beban untuk mempelajarinya. Hal ini penting untuk proses berpikir mereka ke depan karena akan terus mengembangkan pengetahuannya tanpa harus dibatasi oleh ruang (jenjang pendidikan) dan waktu (belajar sepanjang hayat).

Dengan demikian, mereka akan mempunyai kebebasan berpikir dan berkreasi sesuai dengan bakat dan minat yang mereka kenali dan tekuni.

Kedua, belajar di rumah akan mendukung terhadap terciptanya lingkungan yang lebih komunikatif antar anggota keluarga. Di tengah kecenderungan merenggangnya rasa kekerabatan dan kekeluargaan, terutama di daerah urban, menyediakan ruang belajar terbuka di rumah akan kembali menumbuhkan dan mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.

Selain itu, mereka juga akan belajar lebih kooperatif, tak hanya mementingkan keberadaan dan prestasinya sendiri, tetapi juga dengan sendirinya akan membantu kesulitan yang dihadapi oleh saudara-saudaranya.

Hal ini berbeda dengan target pencapaian yang selama ini dikembangkan di sekolah formal yang hanya mementingkan nilai, sehingga tak jarang para siswa akan berusaha mempertaruhkan apa pun untuk memperoleh nilai yang tinggi dengan cara curang, menyontek misalnya.

Cara belajar seperti ini justru akan menghambat cara berpikir positif dan cara menghadapi masa depan kehidupannya; mereka akan cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan hidup.

Ketiga, belajar di rumah akan mendukung terhadap proses kematangan jiwa anak. Hampir seluruh perkembangan kejiwaan anak bisa ter-cover karena lebih gampang memantau dan mengomunikasikan dengan pihak orangtua. Jadi, hambatan belajar mereka, baik secara fisik maupun psikis, relatif lebih cepat diketahui dan dipecahkan. Proses kematangan jiwa ini sangatlah membantu terhadap rasa kepercayaan diri untuk selalu belajar dan berjuang demi kemajuan diri dan bangsanya.
Keempat, mengajak anak-anak untuk tidak hanya berkutat dengan buku-buku, misalnya mereka diajak belajar di alam terbuka seperti di daerah persawahan, sungai, ataupun hutan, dalam artian apa yang mereka baca dan pelajari coba disinggungkan dan didiskusikan dengan keadaan sekitar.

Melalui cara belajar seperti itu, lambat laun mereka akan mempunyai kesadaran bahwa pengetahuan yang diperoleh akan betul-betul diketahui manfaat dan fungsinya dalam kehidupan mereka; tidak sebatas pengetahuan kognitif yang menumpuk di dalam otak mereka. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan mempunyai kepekaan terhadap persoalan-persoalan di sekeliling mereka.

Oleh: Mohammad Hasan Basri Guru SMA I Annuqayah Guluk-guluk Sumenep; Tengah Merintis Taman Belajar “Insan Fitri” di Madura

Sumber : Kompas