Selasa, 26 Agustus 2008

Lebih Jauh tentang Homeschooling


Orang tua harus berkaca diri dulu sebelum menyelenggarakan sekolah rumah bagi sang buah hati.

Homeschooling (sekolah rumah) saat ini mulai menjadi salah satu pilihan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Pilihan ini terutama disebabkan oleh adanya pandangan atau penilaian orang tua tentang kesesuaian bagi anak-anaknya. Bisa juga karena orang tua merasa lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah. Ini banyak dilakukan di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri.

Sekolah rumah, menurut Ella Yulaelawati, direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif.

Tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama dikemukakan oleh Dr Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, saat keduanya tampil berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, Sabtu (22/7) lalu.

Pembelajaran kreatif

Ella mengakui, ada beberapa alasan orang tua di Indonesia memilih sekolah rumah. Antara lain, dapat menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang baik, dan dapat memberikan pembelajaran langsung yang konstekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Menurut Seto, sekolah rumah memiliki keunggulan karena bimbingan dan layanan pengajaran dilakukan secara individual. Proses pembelajaran lebih bermakna karena terintegrasi dengan aktivitas sehari-hari. Lebih dari itu, waktunya pun lebih fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kesiapan anak dan orang tua.

Seto mengatakan, menyelenggarakan sekolah rumah menuntut kemauan orang tua untuk belajar, menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, dan memelihara minat dan antusias belajar anak. Sekolah rumah juga memerlukan kesabaran orangtua, kerja sama antaranggota keluarga, dan konsisten dalam penanaman kebiasaan.

Seto menampik sejumlah mitos yang dinilainya keliru tentang homeschooling selama ini. Misalnya, anak kurang bersosialisasi, orang tua tidak bisa menjadi guru, orang tua harus tahu segalanya, orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari, waktu belajar tidak sebanyak waktu belajar sekolah formal, anak tidak terbiasa disiplin dan seenaknya sendiri, tidak bisa mendapatkan ijazah dan pindah jalur ke sekolah formal, tidak mampu berkompetisi, dan homeschooling mahal. `’Itu keliru,” ucapnya.

Teman belajar

Lalu, apa yang yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menyelenggarakan sekolah rumah? Seto mengatakan, orang tua harus menjadikan anak sebagai teman belajar dan menempatkan diri sebagai fasilitator. `’Orang tua harus memahami bahwa anak bukan orang dewasa mini,” tuturnya.

Anak, kata Seto, perlu bermain. Itu yang perlu dipahami oleh orang tua. Karena itu pula, orang tua tidak boleh arogan dengan menempatkan diri sebagai guru, tapi belajar bersama. Kalau tidak siap dengan itu, menurut Seto, lebih baik jangan menyelenggarakan sekolah rumah.

Orang tua, kata Seto lagi, tetap perlu terus menambah pengetahuan. Tidak mesti menguasai semua jenis ilmu. Yang penting, memiliki pemahaman tentang anak. Bila orang tua kurang mengerti pelajaran biologi atau matematika, misalnya, orang tua bisa mendatangkan guru untuk pelajaran tersebut dan belajar bersama anak. Dengan demikian, anak akan merasa tidak lebih rendah, tapi sebagai sahabat dalam belajar.

Bagaimana dengan kedua orang tua yang bekerja sehingga merasa tidak punya waktu untuk memberikan pembelajaran kepada anak dalam menyelenggarakan homeschooling? Seto mengatakan, itu tidak boleh menjadi alasan.

Sesibuk apa pun orang tua, tetap harus punya waktu untuk anak. `’Kalau tidak punya waktu, jangan punya anak,” ucap psikolog yang juga menyelenggarakan homeschooling bagi anak sulungnya itu.

Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuan dan kemampuan anak, di samping dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara nasional. Standar kompetensi menjadi panduan yang harus dimiliki seorang anak pada kelas tertentu. Anak kelas VI SD atau setara, misalnya, minimal sudah harus menguasai pelajaran matematika sampai batas tertentu pula. Standar kompetensi ini, kata Seto, dapat diperoleh di Dinas Pendidikan yang ada di daerah masing-masing.

Evaluasi bagi anak yang mengikuti homeschooling dapat dilakukan dengan mengikutkan pada ujian Paket A yang setara dengan SD atau Paket B setara SMP. Pada dasarnya, kata Seto, dapat pula dilakukan dengan menginduk ke sekolah formal yang ada untuk proses evaluasi. Menurut dia, harusnya ini bisa dilakukan karena sekolah rumah bukan sekolah liar. Homeschooling seusai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). (-bur)

Sumber : Republika

Sekolah Rumah, Siapa Mau Coba ?


Beginilah suasana ketika Deviana sedang mengajar Nindya Putri Catur Permata Sari, putri bungsunya. Istri Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi ini mendidik sendiri anak-anaknya di rumah, tidak menyekolahkan mereka di sekolah umum. Materi yang ia ajarkan kali ini adalah teori evolusi yang ditemukan oleh Charles Darwin. Suasana belajar-mengajar di rumah dibuat sangat santai, diiringi candaan dan kadang-kadang sambil menjalankan aktivitas sehari-hari. Walaupun pelajaran dibuat santai, Dea, panggilan akrab Nindya, menyimak pelajaran yang diberikan ibunya dengan antusias.

Seto Mulyadi atau Kak Seto sudah lama mempraktekkan home-schooling atau sekolah rumah bagi anak-anak. Konsep sekolah rumah memang unik. Menurut Kak Seto, keluarganya menerapkan sekolah rumah bagi anak-anaknya sejak tiga tahun lalu. Awalnya, Minuk, anak pertama, mengalami tekanan di sekolah karena dihukum gurunya ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama favorit di Jakarta.

“Lalu dia menyampaikan pada ibunya. Mula-mula dipaksa ibunya. Tetapi tetap tidak mau, dan mengatakan lebih baik saya ke sekolah tapi tidak belajar, atau saya di rumah tapi saya belajar? Akhirnya, ya sudah, dengan mengingat hak anak, mengedepankan yang terbaik bagi anak, akhirnya saya beri kesempatan Minuk tetap berada di rumah. Tetapi dia menjalankan aktivitas belajarnya,” Kak Seto menjelaskan ihwal mula mempraktekkan sekolah rumah.

Menurut Kak Seto, berkat konsep sekolah rumah dengan kurikulum yang disusun bersama, motivasi belajar muncul dari dalam diri putrinya. Belajar sambil bermain, membuat anak merasa nyaman, meskipun belajar sepanjang hari.

“Anak-anak jadi senang belajar dengan motivasi internal, motivasi dari anak itu sendiri. Sehingga kegiatan home schooling ini, jika ditanya kapan belajarnya, dari bagun tidur sampai tidur lagi. Di mana belajarnya? Di mana saja! Bisa di kamar tidur, ruang tengah, kamar tamu, di halaman, atau juga di luar. Entah pergi ke sawah, ke panti asuhan, penitipan bayi-bayi telantar, sampai mungkin juga belajar di mal. Tapi yang penting, anak-anak dilibatkan untuk menyusun kurikulumnya, mencari sumber belajar,” Kak Seto menambahkan.

Bagi Dhea, belajar di rumah sangat menyenangkan. Ia mengaku ingin terus belajar di rumah sampai menyelesaikan pendidikan setara sekolah menengah umum.

“Kayaknya, seterusnya sampai SMP, SMA, sampai kapan aja gitu. Aku pingin home schooling. Soalnya waktu itu ngeliat Kak Minuk, terus jadi gimana gitu. Sekolah formal, aku takut! Kayaknya, Kak Minuk sampai stres waktu itu. Waktu kelas SMA, kayaknya, sempet stres. Terus aku nggak mau, mau terus home scholing aja,” tutur Dhea.

Bagi kebanyakan orang, menempuh pendidikan formal masih merupakan pilihan utama. Bahkan, lembaga pendidikan formal yang tergolong favorit masih jadi incaran kebanyakan siswa dan orang tua.

Vanny, misalnya. Siswa SMU 70 Jakarta Selatan ini tetap memilih belajar di sekolah formal. Bagi dia, masuk salah satu SMU favorit di Jakarta merupakan cita-citanya sejak dulu. Dengan masuk SMU favorit, Vanny berharap peluang untuk belajar di perguruan tinggi ternama akan lebih terbuka.

“Di rumah tuh gak punya temen, ya jadi gak bergaul aja. Trus biasanya kualitasnya kan beda kalau sekolah di rumah. Kalau di sekolah kan ada kurikulumnya, gitu. Kalo di rumah kan gak jelas, gitu. Gak mau karena kebanyakan sekolahnya di sekolah, bukan di rumah,” kata Vanny.

Begitu juga Danista, rekan Vanny. Dia justru menikmati belajar di sekolah formal dan mengaku bosan tinggal di rumah. Dia sama sekali tidak ingin belajar di rumah. “Ngapain di rumah juga. Di rumah bosenlah,” jelasnya.

Randi, pelajar SMU yang lain, juga demikian. Baginya, belajar di rumah bukan hal yang menyenangkan. Kata Randi, ada hal yang tidak didapat di rumahnya, yaitu pertemanan. Baginya, sosialisasi dengan teman-teman di sekolah merupakan kebutuhan yang penting.

“Belajar di rumah ya gak enak aja. Kalo di sekolah formal gini, selain belajar, kayak ada pergaulannya, gitu….” kata Randi.

Pemerintah sendiri mengakui keberadaan sekolah rumah sebagai salah satu jalur pendidikan yang sah. Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, Ella Yuleawati, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membuka banyak jalur pendidikan yang bisa ditempuh, termasuk sekolah rumah.

TetapiElla juga mengingatkan, untuk menjalankan konsep sekolah rumah, orang tua harus memiliki komitmen yang kuat. Banyak orang tua yang tidak memiliki komitmen yang kuat dalam mempraktekkan sekolah rumah, sehingga tidak membimbing anaknya secara maksimal. Kesibukan orang tua juga merupakan salah satu hambatan dalam mendidik anak.

“Saya katakan, itu pendidikan informal sekolah rumah, kalau masyarakat memilih itu, apakah betul? Itu tidak mudah loh. Sekarang ini mungkin orang sangat terkesima begini begitu. Berpikirnya mudah, kayak jadi trend seter, gitu. Kalau sekolah rumah, tinggal hati-hati. Saya sendiri belum tentu, memang saya belum tentu. Tapi, saya memang tidak bisa. Kan anak saya dua-duanya di ITB dengan bantuan sekolah formal,” kata Ella.

Mendidik sendiri anak di rumah bukan perkara gampang. Menurut pakar pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Arief Rahman Hakim, orang tua yang ingin menjalankan konsep pendidikan rumah harus memenuhi tiga syarat. Pertama, syarat akademis, yaitu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Kedua, syarat psikologis, yaitu memiliki jiwa pendidik. Dan terakhir, harus memiliki syarat pedadogis, yaitu keahlian menularkan pengetahuan kepada orang lain. Selain itu, menurut Kepala Lab School di Rawamangun ini, praktisi sekolah rumah juga harus memiliki program pelajaran dan sistem evaluasi yang jelas.

“Saya tidak mengatakan setiap orang itu bisa atau tidak, tapi kalau mau melaksanakan home schooling, ketiga syarat itu harus dipenuhi,” katanya.

Kriteria seperti yang disampaikan Arief Rahman Hakim memang dimiliki Deviana, istri Kak Seto. Menurut Deviana, dia memiliki program yang jelas dan mendidik anaknya berdasarkan kurikulum nasional. Dia juga mengaku menerapkan sistem evaluasi untuk mengukur capaian yang ditempuh kedua putrinya.

“Saya pakai cara saya sendiri. Sudah mengerti apa belum, misalnya, sambil bermain juga kadang mereka buat soal. Oh, mereka sudah mengerti soal ini. Kalau sudah bisa buat soal, berarti sudah mengerti. Jadi, mereka kadang membuat soal. Menyerapnya lebih dari yang diajarkan. Tidak formal pakai angka. Yang penting standarnya sampai, standar kurikulum nasional,” kata istri Seto Mulyadi ini.

Bagi Kak Seto, mempraktekkan sekolah rumah memang tidak gampang. Dia mengingatkan kepada semua orang tua yang akan menjalankan praktek sekolah rumah agar memahami benar makna pendidikan. Walaupun kini banyak kalangan kelas terdidik di Jakarta yang menerapkan sekolah rumah, dia mengingatkan jangan sampai sekolah rumah sekadar menjadi gagah-gagahan.

“Pertama harus memahami makna dari pendidikan. Bukan sekadar menjejalkan beragam informasi atau pelajaran kepada kepala yang seolah-olah kosong. Tapi makna pendidikan adalah justru mengeluarkan atau memberdayakan potensi-potensi unggul yangg dimiliki oleh setiap anak yangg saling berbeda. Kedua, punya komitmen, bahwa ortu yang jadi koordinator dan fasilitator dari kegiatan sekolah rumah. Penaggung jawab adalah tetap ortu. Berarti mempelajari isi kurikulum. Kemudian juga mencoba untuk menjabarkan secara kreatif sesuai dengan kondisi anak-anak yang saling berbeda. Kemudian harus mampu bekerja sama baik dengan anak maupun dengan pihak-pihak lain, termasuk jaringan sekolah rumah,” Kak Seto memberi kiat bagi orang tua yang ingin membuat sekolah rumah.

Sekolah rumah atau home-schooling tampaknya sudah menjadi alternatif di tengah-tengah buruknya sistem pendidikan formal. Beberapa selebritas, seperti Neno Warisman, juga mempraktekkan sekolah rumah untuk anak-anaknya. Dewi Hughes yang belum mempunyai anak tapi peduli pada dunia pendidikan pun tertarik. Mereka bahkan membentuk Asa Pena, asosiasi sekolah rumah, sebagai wadah bertukar informasi sesama praktisi sekolah rumah. (Liza Desylanhi/E2)

Sumber : http://www.vhrmedia.net

Tidak Mesti Mahal Kok...


Dari tetangga sebelah...
Selamat membaca

Indira Permanasari

Namanya Hasan. Umurnya baru 7 tahun. Ia paling suka pelajaran
Matematika. Cita-citanya ingin menjadi astronot dan suatu saat ingin
ke Planet Mars. Ada lagi Husen, kembaran Hasan, yang suatu saat ingin
menjadi tentara. Di sebelahnya, Vida, yang berusia 8 tahun,
bercita-cita menjadi guru.

Lain lagi Bilal, yang ingin menjadi arsitek dan sudah pintar membuat
maket. Nah, yang terkecil bernama Safik. Umurnya baru enam tahun dan
paling suka menggambar dinosaurus. Mereka berlima putra- putri Ny
Yayah Komariah.

Siang itu mereka tengah belajar Matematika di ruang tamu rumah mereka
yang hanya berukuran 3 meter x 3 meter di bilangan Pasar Minggu,
Jakarta Selatan. Rumah mereka terselip di antara kepadatan permukiman
yang dibelah gang-gang yang hanya dapat dilalui satu orang.

Jangan bayangkan bocah-bocah mungil itu beriringan berangkat ke
sekolah dengan berseragam merah-putih. Sehari- hari, kelima anak
tersebut bersekolah di rumah alias homeschooling atau disebut juga
sekolah-rumah. Mereka dididik langsung oleh ibu yang sekaligus guru
mereka. Itu pun masih ditambah tiga anak lain yang ikut bergabung
secara rutin.

Ny Yayah adalah ibu rumah tangga biasa, sedangkan suaminya bekerja di
percetakan. Keinginan mendapatkan pendidikan berkualitas di tengah
keterbatasan kondisi ekonomi membuat Ny Yayah memilih mendidik anaknya
sendiri. Terlebih lagi sebelumnya ia adalah seorang guru lulusan
perguruan tinggi dan pernah ikut mendirikan tiga buah sekolah.

"Masuk ke sekolah formal yang bermutu biayanya mahal, sedikitnya Rp 3
juta dengan biaya bulanan Rp 150.000. Saya sudah pernah mau
mendaftarkan anak saya ke SD negeri, tapi begitu melihat satu guru
untuk 40 anak, saya ngeri juga memasukkan anak ke sistem itu. Tahun
2004, ketika Vida masuk SD, kami mulai homeschooling. Itu pun
sebelumnya diskusi dengan anak," kata Yayah.

Yayah bersama beberapa orangtua lalu membuat Komunitas Homeschooling
Berkemas, yang kini beranggotakan 60 orang di seluruh Indonesia. Tiga
anggota secara rutin tiap dua hari dalam seminggu berkegiatan bersama
Yayah dan anaknya.

Ny Homsah yang tinggal di kawasan Cilandak juga memilih model
sekolah-rumah bagi Jafar (8), putranya. Sehari-hari dia mendidik Jafar
di rumah. Tetapi, tiap dua kali seminggu Jafar ia ikutkan pada
kegiatan Komunitas Homeschooling Berkemas.

Homsah juga tak mampu menyekolahkan putranya ke sekolah bermutu yang
identik dengan biaya mahal. Apalagi keluarganya hanya mengandalkan
pendapatan suaminya yang berjualan makanan kaki lima.

"Anak saya yang tertua sekolah di satu SD swasta yang baik. Uang
sekolahnya Rp 160.000 per bulan dan per tahun ada biaya Rp 1 juta.
Kalau dua anak saya yang lain masuk di sekolah yang sama, saya tak
kuat biayanya. Tahun ini saja biayanya sudah naik Rp 400.000 per bulan
untuk anak baru," kata Homsah.

Selain itu, dia berpandangan, Jafar membutuhkan perhatian khusus
karena kurang dapat mengikuti disiplin sekolah dan tidak cocok dengan
cara belajar di kelas. "Dia bisa saja tidak mau pakai seragam ke
sekolah dan tidak merasa bersalah. Saya tidak ingin anak saya
terbentur dengan pihak sekolah hanya karena permasalahan seperti
seragam," katanya. Jafar juga tidak mau ke sekolah negeri karena kamar
mandinya jorok.

Keputusan mendidik Jafar di rumah melalui pergulatan yang berat,
terutama bagi Homsah. Dia merasa kemampuan dan ilmu kurang mengingat
pendidikan terakhirnya hanya sebatas sekolah menengah atas.

"Keluarga besar juga berkali- kali mempertanyakan buat apa mendidik
anak melalui homeschooling. Tapi saya melihat Jafar antusias dengan
ide homeschooling. Apalagi sudah ada homeschooling majemuk, seperti
yang diadakan Komunitas Homeschooling Berkemas, informasi tentang
homeschooling sudah bertebaran dan banyak yang melaksanakan,

" ujarnya.

Perkembangan Jafar setelah ikut sekolah-rumah juga menggembirakan.
Terlihat karakternya terbangun dan dia punya banyak pengalaman karena
terkadang saat di komunitas Jafar belajar langsung dari sumber atau
tinjauan lapangan.

Tidak bikin stres

"Homeschooling tidak mesti mahal," kata Ny Yayah. Besaran biaya
bergantung pada bagaimana proses pembelajaran. Terlebih lagi untuk
pendidikan dasar.

"Untuk sumber belajar dapat digunakan buku bekas atau materi lain.
Apalagi sekarang sudah banyak informasi di internet, radio, atau
televisi. Belajar juga dapat di mana saja. Siapa saja dapat jadi guru
bagi anak-anak homeschooling. Terkadang saya membawa anak-anak ke
orang- orang dengan keahlian tertentu agar mereka bisa belajar
langsung dari sumbernya. Intinya, segala yang ada di lingkungan dapat
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran," katanya.

Ny Yayah Komariah sendiri dalam mendidik anak serta anggota Komunitas
Homeschooling Berkemas berupaya agar anak senang. "Akhirnya, saya
membuat model pembelajaran yang menekankan agar anak aktif dan sambil
bermain. Saya memakai istilah kegiatan, bukan belajar. Kalau disebut
belajar, mereka langsung capek," katanya.

Sebagian materi ada yang dari Departemen Pendidikan Nasional dan
biasanya materi itu sudah terselesaikan dalam tiga bulan, lebih cepat
daripada di sekolah reguler. Vida termasuk menikmati model sekolah-
rumah. "Aku mau homeschooling sampai kuliah. Soalnya enak dan tidak
bikin stres," katanya.

Yayah saat ini berkeinginan memasyarakatkan model sekolah-rumah ini
lebih luas agar masyarakat punya banyak pilihan model pendidikan. "Itu
tidak mudah karena pandangan masyarakat bahwa orangtua yang ingin
anaknya ikut homeschooling harus menguasai seluruh materi. Padahal,
yang lebih ditekankan dari homeschooling ialah pembangunan karakter,
minat dan bakat," katanya.

Suatu hari nanti anak akan mengetahui minat dan bakatnya dan berusaha
menguasai bidang yang diinginkan. Tak kalah penting, mereka menjadi
pembelajar yang alami dan mandiri.

Menimbang Sekolah Rumahan

” Apakah akan datang suatu ketika guru manusia adalah alam, kemanusiaan adalah bukunya, dan kehidupan adalah sekolahnya? “

Pertanyaan Kahlil Gibran ini bukanlah hal yang utopis atau tidak pernah kita temui dalam kehidupan nyata. Penyair besar kelahiran Lebanon itu tidak sekadar meramal atau bertanya sekenanya saja.

Di balik pertanyaan itu terkandung makna yang sangat mendalam dan menjadi renungan bagi setiap generasi, bahwa proses pendidikan yang dicapai sesungguhnya bukanlah diukur dari seberapa tinggi jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh seseorang atau seberapa banyak ilmu pengetahuan yang dikuasai.

Namun, sejatinya pendidikan yang sebenarnya adalah bagaimana menjalani dan memaknai kehidupan ini sebagai manusia pembelajar sepanjang hayat karena pada hakikatnya kita tidak pernah purna untuk menamatkan “sekolah” kehidupan ini.

Munculnya fenomena sekolah rumahan (home schooling) empat tahun terakhir seakan menemukan konteksnya apabila dihubungkan dengan pertanyaan Kahlil Gibran di atas. Karena dengan mengajak anak-anak belajar di luar bingkai sekolah formal, mereka akan tergiring untuk menyadari bahwa proses belajar itu tidak pernah ada batasnya; bahwa sekolah formal itu hanya salah satu di antara banyak cara dalam memperoleh life skill sebagai bekal untuk menapaki masa depan mereka.

Secara historis, ada sederet nama pahlawan nasional dan tokoh pendidikan bangsa ini yang merupakan produk dari sekolah rumahan, seperti Haji Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, serta Buya Hamka. Sepanjang hidup mereka didedikasikan untuk kemajuan bangsa ini karena mereka tidak mengenal kata “lulus” dalam “sekolah kehidupan” ini.

Ada beberapa lembaga seperti Morning Star Academy dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Bina Mekanika, tokoh pendidikan anak, Kak Seto Mulyadi; serta pendongeng Kak Wees yang telah menerapkan sistem belajar sekolah rumahan ini.

Kecenderungan untuk menerapkan sistem belajar home schooling ini diakibatkan oleh adanya rasa ketidakpercayaan kepada sekolah formal karena kurikulumnya terus berubah dan memberatkan anak, menganggap anak sebagai obyek bukan subyek, memasung kreativitas dan kecerdasan anak, baik dari segi emosi, moral, maupun spiritual (Tempo, 26/2/2006). Sebenarnya, secara operasional, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakui sistem sekolah rumahan, tetapi pemerintah masih belum melakukan standardisasi terhadap sistem belajar ini.

Tanpa menafikan peran sekolah formal dalam usaha memperbaiki kualitas pendidikan bangsa Indonesia, melalui tulisan ini, penulis ingin berbagi cerita mengenai sisi-sisi positif dari sekolah rumahan sebagai upaya alternatif bagi proses perbaikan kualitas pendidikan bangsa ini.

Selama lebih kurang dua tahun, saya mencoba menerapkan sistem belajar home schooling kepada keponakan-keponakan saya di rumah, mereka diajak untuk belajar bersama di luar jam sekolah. Boleh dikatakan bahwa apa yang saya kembangkan tidak sepenuhnya menggunakan sistem belajar sekolah rumahan karena mereka tidak sepenuhnya lepas dari sistem pendidikan formal.

Berdasarkan pengalaman selama menemani mereka belajar bersama di rumah, ada beberapa hal yang bisa dipetik.

Pertama, belajar di rumah lebih menyenangkan; jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada peserta didik di sekolah formal saat ini sangatlah memberatkan, ketika mereka merasa terbebani untuk mempelajari suatu bidang studi, bukan rasa ingin tahu yang muncul dalam benak mereka, melainkan setumpuk beban pengetahuan yang harus ia jejalkan ke dalam otaknya.

Dengan beban seperti itu, mereka akan enggan dan ogah- ogahan untuk membaca dan mengembangkan pengetahuannya sendiri, apalagi misalnya di sekolah mereka lebih banyak menerima pengetahuan dengan proses satu arah (spoon feeding).

Naifnya, ketika peserta didik tidak mampu menyerap pelajaran di ruang kelas, mereka diajak untuk belajar lagi di luar kelas, misalnya dengan mengikuti les, pelajaran tambahan, ataupun bimbingan belajar, padahal bidang studi yang mereka pelajari sama dengan yang mereka pelajari di ruang kelas.

Sistem belajar seperti ini tidak hanya menambah beban bagi mereka, tetapi juga akan membuat mereka merasa jemu dan bosan karena ada proses pengulangan (repetisi) bahan pelajaran.

Namun, dengan sistem belajar home schooling, mereka akan belajar lebih menyenangkan karena menerima pelajaran dengan rasa ingin tahu dan tidak ada beban untuk mempelajarinya. Hal ini penting untuk proses berpikir mereka ke depan karena akan terus mengembangkan pengetahuannya tanpa harus dibatasi oleh ruang (jenjang pendidikan) dan waktu (belajar sepanjang hayat).

Dengan demikian, mereka akan mempunyai kebebasan berpikir dan berkreasi sesuai dengan bakat dan minat yang mereka kenali dan tekuni.

Kedua, belajar di rumah akan mendukung terhadap terciptanya lingkungan yang lebih komunikatif antar anggota keluarga. Di tengah kecenderungan merenggangnya rasa kekerabatan dan kekeluargaan, terutama di daerah urban, menyediakan ruang belajar terbuka di rumah akan kembali menumbuhkan dan mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.

Selain itu, mereka juga akan belajar lebih kooperatif, tak hanya mementingkan keberadaan dan prestasinya sendiri, tetapi juga dengan sendirinya akan membantu kesulitan yang dihadapi oleh saudara-saudaranya.

Hal ini berbeda dengan target pencapaian yang selama ini dikembangkan di sekolah formal yang hanya mementingkan nilai, sehingga tak jarang para siswa akan berusaha mempertaruhkan apa pun untuk memperoleh nilai yang tinggi dengan cara curang, menyontek misalnya.

Cara belajar seperti ini justru akan menghambat cara berpikir positif dan cara menghadapi masa depan kehidupannya; mereka akan cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan hidup.

Ketiga, belajar di rumah akan mendukung terhadap proses kematangan jiwa anak. Hampir seluruh perkembangan kejiwaan anak bisa ter-cover karena lebih gampang memantau dan mengomunikasikan dengan pihak orangtua. Jadi, hambatan belajar mereka, baik secara fisik maupun psikis, relatif lebih cepat diketahui dan dipecahkan. Proses kematangan jiwa ini sangatlah membantu terhadap rasa kepercayaan diri untuk selalu belajar dan berjuang demi kemajuan diri dan bangsanya.
Keempat, mengajak anak-anak untuk tidak hanya berkutat dengan buku-buku, misalnya mereka diajak belajar di alam terbuka seperti di daerah persawahan, sungai, ataupun hutan, dalam artian apa yang mereka baca dan pelajari coba disinggungkan dan didiskusikan dengan keadaan sekitar.

Melalui cara belajar seperti itu, lambat laun mereka akan mempunyai kesadaran bahwa pengetahuan yang diperoleh akan betul-betul diketahui manfaat dan fungsinya dalam kehidupan mereka; tidak sebatas pengetahuan kognitif yang menumpuk di dalam otak mereka. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan mempunyai kepekaan terhadap persoalan-persoalan di sekeliling mereka.

Oleh: Mohammad Hasan Basri Guru SMA I Annuqayah Guluk-guluk Sumenep; Tengah Merintis Taman Belajar “Insan Fitri” di Madura

Sumber : Kompas